Minggu, 01 Mei 2011

MaKaLaH EkOnOMi

Masalah Pengangguran di Indonesia


KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. 
   Penulisan makalah yang berjudul “Masalah Pengangguran di Indonesia” ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari pengangguran terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. 
    Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. 
   Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang. Amin..

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 

   Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah pengangguran di.Indonesia.bertambah. 

B. Rumusan Masalah 

    Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.Apa pengertian definisi pengangguran
2.Apa yang menjadi masalah pengangguran di Indonesia
3.Bagaimana keadaan pengangguran di Indonesia
4.Bagaimana keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5.Pengangguran mengakibatkan kemiskinan
6.Apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan ASEAN
7.Apa janji realisasi Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran 
8.Sajian data pengangguran di Indonesia
9.Contoh tabel tingkat pengangguran di Indonesia
10.Peringkat Negara Berdasarkan Tingkat Pengangguran

C. Tujuan Penulisan 

   Tujuan penulis membuat makalah yang berjudul ”Masalah Pengangguran di Indonesia” adalah sebagai berikut: 
1.Mengetahui Definisi Pengangguran
2.Mengetahui apa yang menjadi masalah pengangguran di Indonesia
3.Mengetahui keadaan pengangguran d Indonesia
4.Mengetahui keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5.Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari pengangguran.
6.Mengetahui dampak pengangguran di Indonesia terhadap pertumbuhan asean
7.Merealisasikan Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran
8.Mengetahui data – data tentang pengangguran.
9.Mengetahui contoh table tingkat pengangguran di Indonesia
10.Mengetahui peringkat Negara berdasarkan tingkat pengangguran.

D. Metode Pengumpulan Data 

  Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama browsing di Internet, kedua dengan membaca media cetak dan dengan pengetahuan yang penulis miliki. 

E. Sistematika Penulisan 

   Makalah ”Masalah Pengangguran di Indonesia” ini disusun dengan urutan sebagai berikut : 
•Bab I Pendahuluan : Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan. 
•Bab II Pembahasan : Pada bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari definisi pengangguran, apa masalah pengangguran di indonesia, bagaimana keadaan pengangguran di indonesia, bagaimana keadaan angkatan kerja dan keadaan kesempatan kerja, kenapa pengangguran mengakibatkan kemiskinan, apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan asean, apa realisasi industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, serta penyajian data pengangguran di indonesia. 
•Bab III Penutup: Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan solusi terhadap masalah pengangguran di Indonesia. 
•Daftar Pustaka : Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis gunakan untuk pembuatan makalah ini. 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pengangguran 
   Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Definisi pengangguran secara teknis adalah semua orang dalam referensi waktu tertentu, yaitu pada usia angkatan kerja yang tidak bekerja, baik dalam arti mendapatkan upah atau bekerja mandiri, kemudian mencari pekerjaan, dalam arti mempunyai kegiatan aktif dalam mencari kerja tersebut.

B. Jenis dan Macam Pengangguran 
• Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerna penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
• Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment. Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukang jualan duren yang menanti musim durian.
•Pengangguran Siklikal. Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.

C. Masalah Pengangguran di Indonesia 
 Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.
   Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. 
   Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung. 
    Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP), Mengingat 70 persen penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak. 
  Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur- unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah satu tolok ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah pengangguran. 
   Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk membangun kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah, serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya mengatasi pengangguran. Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja. 
  Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan GNPP tersebut, menunjukan suatu kepedulian dari segenap komponen bangsa terhadap masalah ketenagakerjaan, utamanya upaya penanggulangan pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan semata fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam penyusunan kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah maupun swasta harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya. 

D. Keadaan Pengangguran di Indonesia 
   Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
   Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll. 

E. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja 
   Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Contohnya saja angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja.di.Indonesia kualitasnya.masih.rendah. 
   Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan berpendidikan rendah. Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah. 

F. Pengangguran Mengakibatkan Kemiskinan 
  Di negeri ini, kemiskinan adalah simbol sosial yang nyaris absolut dan tak terpecahkan. Sejak masa kolonial hingga saat ini, predikat negeri miskin seakan sulit lepas dari bangsa yang potensi kandungan kekayaan alamnya terkenal melimpah. Cerita pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan terjadinya berbagai musibah alam dan bencana buatan: gempa bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran hutan yang diikuti kabut asap. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini kian hari kian menyebar bak virus ganas, mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan, penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan. 
    Padahal, perang melawan kemiskinan sudah ditabuh sejak lama di negeri ini. Di era Orde Baru, misalnya, pemerintah menggalang berbagai sarana dan cara untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan fisik digenjot di berbagai bidang, pertumbuhan ekonomi menjadi fokus perhatian, investasi asing digalakkan, berbagai jenis skema kredit investasi kecil dan kredit modal kerja digelar, bahkan utang luar negeri pun ditempuh sebagai alternatif untuk menopang idea of progress bernama pembangunan. Akan tetapi, karena keberpihakan ideologis pemerintah tak jelas, hasil pembangunan ala Orde Baru itu tak bisa sepenuhnya bisa dirasakan rakyat lapis bawah. Yang terjadi, seluruh angka-angka keberhasilan pembangunan yang digarap secara intens selama 30 tahun itu, rontok tersapu krisis ekonomi dan gejolak politik tahun 1998. 
     Meski pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi virus endemis yang terus mendera rakyat. Secara empirik, data pemerintah menunjukkan, 70 persen rakyat kita menggantungkan sumber penghidupannya dari sektor ekonomi mikro berbasis sumber daya alam terbarukan. Di sektor pertanian, petani kita telah sejak lama mengembangkan tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan. Di sektor kelautan dan perikanan, nelayan kita sanggup mengembangkan perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri bioteknologi kelautan, dan non-conventional ocean resources. Sementara di sektor kehutanan, masyarakat kita mampu mengoptimalkan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan agroforestry. 
    Pada level global, Indonesia juga telah masuk dalam kategori negara yang paling gagal dalam pencapaian target-target Millenium Development Goals (MDGs), sebuah komitmen global yang ikut ditandatangani pemerintah Indonesia guna mengatasi masalah kemiskinan akut. Padahal, kucuran dana yang datang dari World Bank, IMF, ADB, CGI, dan donor bilateral (baik dalam bentuk hibah maupun utang) yang mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan mencapi angka puluhan milyar dolar. Di sini, komitmen melawan kemiskinan menjadi patut dipertanyakan. 
    Contoh nyata melawan kemiskinan sebenarnya telah terbentang di depan mata. Pada aras global, gerakan masyarakat sipil anti globalisasi-neoliberal (sejak Seattle, Cancun, Hongkong, hingga Singapura) terus menyerukan ”Global Call to Action Against Poverty”. Mereka dengan gamblang menunjukkan berbagai metode dan aksi-aksi politik nyata guna melawan sumber-sumber kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian 2006, yang mendesain model ”Bank Grameen” (dan fungsi intermediasi)-nya sebagai solusi efektif memerangi kemiskinan di Bangladesh, sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi kita dalam melawan kemiskinan. 
   Masalahnya sekarang, apakah para elite, politisi, dan birokat kita punya keberpihakan ideologis untuk melawan kemiskinan? Adakah komitmen tegas dari para penentu kebijakan negara untuk memberantas KKN secara radikal? Jika negara tak sanggup menyatakan perang terhadap kemiskinan, gagal dalam memerangi korupsi, dan tetap malas melaksanakan agenda reformasi sebagai perintah konstitusi, maka kemiskinan bangsa yang di masa kolonial pernah disebut ”nation van Koelis” mungkin akan menjadi simbol abadi negeri ini. 

G. Dampak Pengangguran Di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Asean 
  Presiden menyatakan, besarnya tingkat pengangguran di Indonesia merupakan masalah ketenagakerjaan yang paling mengkhawatirkan di kawasan ASEAN, karena itu Presiden mengajak ASEAN menyimak lebih dekat kepada persoalan ketenagakerjaan. "Pengangguran tak hanya menampilkan masalah ekonomi tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan politik yang pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional dan akhirnya menjadi ketegangan dalam hubungan antarbangsa-bangsa di kawasan ini," katanya saat membuka pertemuan ke-17 Menteri Tenaga kerja ASEAN di Mataram, NTB. Pertemuan internasional pertama di Mataram sejak terjadinya tragedi bom Bali itu diikuti seluruh negara ASEAN, yakni tujuh menteri tenaga kerja, satu menteri negara, dan dua deputy menteri. Selain itu juga diikuti tiga wakil menteri dari negara mitra dialog dari China, Jepang, dan Korea Selatan termasuk dari perwakilan Organisasi Buruh Internasional, serta dari Sekretariat Jenderal ASEAN. 
Dari sudut pandang tersebut Kepala Negara mengajak para menteri tenaga kerja ASEAN untuk menyimak lebih dekat persoalan ketenagakerjaan di kawasan ASEAN. Presiden memahami pemulihan ekonomi yang besar peranannya dalam penciptaan lapangan kerja akan sangat berkaitan dengan kebijakan di banyak aspek, seperti fiskal, investasi, pembiayaan dan perbankan, hukum dan keamanan. Sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, kata Megawati, para pendahulu ASEAN telah bekerja keras membangun dasar-dasar kerjasama dan solidaritas bangsa-bangsa di kawasan ini, dengan keyakinan bahwa hanya dengan stabilitas politik dan keamanan di kawasan masing- masing dapat membangun kehidupan yang sejahtera dan maju. 
    Dengan perkembangan dan kemajuan yang dialami saat ini, bangsa- bangsa dan negara ASEAN telah semakin berubah menjadi masyarakat besar yang kian terbuka. Sekecil apa pun perkembangan negatif yang terjadi di suatu negara akan menjalar dan memberi pengaruh terhadap bangsa-bangsa lainnya di kawasan.Presiden menggambarkan di Indonesia bahwa pemerintahannya baru saja selesai memperbaiki pengaturan mengenai perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja terutama soal pengupahan, jaminan sosial, PHK ataupun mekanisme tripartit dan lain-lainnya dalam rangka penyeimbangan antara hak dan kewajiban tenaga kerja dan pemberi kerja. 
    Pengangguran di Indonesia sudah menjadi ancaman di ASEAN mengingat kontribusi Indonesia pada angka pengangguran di kawasan Asia Tenggara itu sudah mencapai 60 persen. 

H. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi Pengangguran 
   Masa jaya Nusantara di bawah pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit mencatat perekonomian dan industri yang berpusat pada kekayaan alam, yakni pertanian dan laut. Selepas lima abad, muncullah Republik Indonesia dengan mimpi besar membangun industri maju, tetapi melupakan kemakmuran petani dan nelayan. Perbagai peninggalan candi sebagai bukti kejayaan bangsa berikut reliefnya, seperti simbol Yoni-Lingga, adalah pertanda kemajuan dan kemakmuran masyarakat yang berbasis agraria. Demikian pula gambaran "Kapal Borobudur" yang menggambarkan keakraban masyarakat Indonesia masa lampau dengan lautan luas. Sesungguhnya, kembali pada jati diri lewat pengembangan industri berbasis lokal, yakni pertanian dan kelautan, adalah jawaban mutlak untuk menyerap tenaga kerja yang melimpah sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional. 
   Kondisi riil membuktikan bahwa industri teknologi tinggi dikuasai negara maju, sedangkan industri teknologi rendah (low technology intensity) dikuasai China, Vietnam, dan negeri jiran lain yang baru berkembang. Praktis, menghadapi persaingan yang tidak seimbang itu, Indonesia harus melakukan renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri mula-mula di negeri ini, yakni sektor pertanian dan kelautan. Selanjutnya barulah industri lainnya berkembang, tetapi terkait atau berangkat dari pengembangan kedua sektor tersebut. Pengamat ekonomi, Faisal Basri, menegaskan, dengan mencermati sejarah masa silam tersebut, tentudeportasi massal ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia tidak perlu terjadi. "Keberadaan TKI adalah ekses dari kegagalan kebijakan lompatan industri. Tanpa memiliki basis industri intensitas rendah yang kuat, kita langsung memaksakan diri bermain di sektor intensitas teknologi tinggi, seperti pembuatan pesawat. Alhasil, semuanya gagal dan telanjur menciptakan angkatan kerja yang meninggalkan kehidupan agraria dan nelayan, tetapi tidak terserap dalam pasar kerja di perkotaan. Mereka ini adalah korban kebijakan pembangunan yang kini dikenal sebagai TKI," Faisal menjelaskan. 
    Dunia industri Indonesia dewasa ini menjadi potret kegagalan industrialisasi, seperti terjadi di China pada dekade 1960-an akibat kebijakan lompatan jauh ke depan ala Mao Ze Dong. Alih-alih mengikuti proses alamiah perkembangan industri dari skala teknologi rendah, teknologi menengah, hingga teknologi tinggi, Indonesia memaksakan diri "melompat" dari industri teknologi rendah ke teknologi tinggi semasa BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi. 
   Ketika itu, Malaysia dan Thailand konsisten mempelajari agrobisnis di Indonesia serta mengembangkannya untuk membangun perekonomian mereka. Saat sama, Indonesia sempat mengalami surplus pangan, tetapi selanjutnya lebih asyik membuat industri pesawat terbang yang bahkan tidak dilakukan oleh Jepang. Hal serupa dialami Korea Selatan pada periode 1970-an akibat blunder kebijakan industrialisasi oleh Park Chung-Hee dalam periode tersebut. Menurut Faisal Basri, hanya industri baja saja yang dapat dikatakan berhasil ketika itu.Namun, pemimpin Korea Selatan cepat menyadari kesalahan dan cepat kembali mengikuti logika sehat dalam mengembangkan industri dengan kembali ke titik awal, yakni mengukuhkan sektor pertanian- kelautan sebelum menapaki industri teknologi menengah dan teknologi tinggi. 
    Mereka berangkat dari pemikiran logis, yakni mengembangkan sektor padat karya, menghasilkan devisa, dan mendorong industri berbasis sumber daya alam (resource-based industry). Kebijakan tersebut sangat berdasar karena sektor pertanian dan perikanan serta budi daya laut bersifat padat karya (labour intensive). Perlahan tetapi pasti, Korea Selatan berkembang menjadi raksasa ekonomi. Skema tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa untuk membayar utang luar negeri, kemudian mengembangkan industri ke skala intensitas menengah hingga teknologi tinggi. 
    Dewasa ini, seiring perkembangan ke industri teknologi canggih, Korea Selatan meninggalkan industri seperti tekstil untuk produksi massal dan usaha jenis tersebut melakukan relokasi ke China dan Vietnam. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi mengingat berdasar kondisi riil, daerah yang sebetulnya potensial untuk industri adalah Korea Utara, sedangkan wilayah Korea Selatan adalah sentra pertanian. 
    Namun, di Indonesia terjadi paradoks. Di saat terjadi fenomena teori modernisasi berupa peralihan dari pertanian ke sektor industri dan jasa, justru terjadi gerakan kembali ke desa akibat menyusutnya lapangan kerja di perkotaan. Akan tetapi, tenaga kerja ini juga tidak terserap akibat rendahnya produktivitas industri pertanian. Akibatnya, tenaga kerja tersebut berakhir sebagai buruh migran di negeri jiran. 
   Salah satu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit membenarkan perlunya menata industri pertanian. Akan tetapi, dia menekankan, industri manufaktur harus tetap mendapat perhatian. Pasalnya, sektor industri yang masih tersisa ini juga harus diselamatkan karena semakin terpuruk akibat persaingan dan terlebih lagi tekanan produk perundang-undangan pemerintah di tingkat pusat serta daerah. 
   Kondisi riil saat ini ada persoalan mendasar yang menghambat upaya menggerakkan sektor manufaktur, yakni tingginya biaya yang bersumber dari aturan-aturan mengenai perburuhan. Pelbagai peraturan yang ada justru semakin memberatkan dunia usaha. Padahal, pihak pengusaha tengah berusaha mempertahankan pekerja tetap berada di sektor formal. 
   Peraturan yang justru semakin memberatkan pengusaha dan buruh itu misalnya aturan mengenai pesangon yang terlalu besar dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Seharusnya, lanjut Anton Supit, terjadi perpindahan pekerja informal ke sektor formal dalam kondisi normal. Apalagi jumlah tenaga kerja informal di Indonesia menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mencapai 68-70 persen dari angkatan kerja. Kondisi ini pada akhirnya mendorong pengusaha menghindari memiliki karyawan tetap. Mereka cenderung menggunakan sistem kontrak yang memang tidak memberi jaminan kelangsungan kerja bagi buruh. Faisal Basri membenarkan pendapat tersebut. Menurut dia, beratnya komponen pajak dan peraturan ketenagakerjaan semakin menghambat sisa-sisa industri manufaktur di Indonesia. Sebagai contoh, untuk memecat tenaga kerja akan memunculkan biaya yang sangat tinggi bagi pengusaha. Kebijakan perpajakan juga turut menyudutkan dunia usaha, misalnya pajak yang harus ditanggung pabrik olahan mete jauh lebih besar dibandingkan eksportir mete mentah. 
    Meski demikian, Anton Supit merasa optimistis dunia usaha di Indonesia masih akan berkembang. Pasalnya, kondisi adanya pasar, kompetensi, dan harga sebetulnya tetap dapat dipenuhi oleh sektor manufaktur. Direktur Tenaga Kerja dan Analisa Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Widianto menanggapi situasi tersebut dengan mengupayakan skema perundingan bipartit pekerja-pengusaha. Langkah tersebut lebih efektif untuk mengatasi persoalan labour regulation cost sehingga dunia usaha dapat diselamatkan. 
    Sebagai contoh, semasa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hanya pos menteri tenaga kerja yang diisi oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saat ini, tidak ada posisi menteri dari tiga sektor tersebut yang dijabat oleh kader Partai Demokrat! Pengalaman sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit tampaknya menjadi jawaban persoalan penyerapantenaga kerja dan TKI. Bukankah istilah gemah ripah loh jinawi sempat dialami waktu itu ketika pertanian dan laut menjadi sumber hidup negeri ini. 
     Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran. 

I. Peringkat Negara Berdasarkan Tingkat Pengangguran
   Dari data sejumlah negara di atas dapat dilhat posisi Indonesia pada peringkat penganggurannya, makin rendaringkatnya maka semakin banyak tingkat dan angka pengangguran di negara tersebut, dalam hal ini Indonesia menduduki posisi ke 133, kita kalah jauh dari Singapura, Thailand, Malaysia, Brunei Darusalam bahkan Myanmar. Sungguh mengherankan negara dengan sumber daya alam yang banyak dan dapat dikatakan kaya memiliki tingkat angka pengangguran yang tinggi, sungguh sulit dipercaya. Dengan ini kita hanya dapat berhapkan pemerintah dapat bertindak untuk menyelesaikan masalah keterpurukan perkembangan ekonomi di Indonesia dan tentunya dengan usaha dari diri kita masing – masing.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 
    Pengangguran di Indonesia kondisinya saat ini sangat memprihatnkan, banyak sekali terdapat pengangguran di mana-mana. Penyebab pengangguran di ndonesia ialah terdapat pada masalah sumber daya manusia itu sendiri dan tentunya keterbatasan lapangan pekerjaan. Indonesia menempati urutan ke 133 dalam hal tingkat pengangguran di dunia, semakin rendah peringkatnya maka semakin banyak pula jumlah pengangguran yang terdapat di Negara tersebut. Untuk mengatasi masalah pengangguran ini pemerintah telah membuat suatu program untuk menampung para pengangguran. Selain mengharapkan bantuan dari pemerintah sebaiknya kita secara pribadi juga harus berusaha memperbaiki kualitas sumber daya kita agar tidak menjadi seorang pengangguran dan menjadi beban pemerintah. 

B. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia ( Saran )
  Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur (underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk Malaysia. Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya. 
     Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya. Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara.Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. 
    Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat- rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya. 
      Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal.Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas. 
     Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. 
     Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu 
   Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial). 
   Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik. 
     Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru. 
       Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. 
    Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja. 
      Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya. 
      Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. 
      Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD- PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina. 
     Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangatmenentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. 
    Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur. 
    Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai kebijakan. 
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif. 
    Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar